Jumat, 25 November 2011 Jatinangor tampak cerah, mungkin panas.
Namun tidak menyulutkan semangat kami untuk pergi ke Kampung Adat Mahmud.
Sekitar satu jam mobil kami telah merapat ke kampung unik yang terletak di
sepanjang Sungai Citarum Desa Mekar Rahayu Kecamatan Marga Asih Kabupaten
Bandung Jawa Barat. Jika dari arah Kopo, setelah membentang Sungai Citarum maka
di sebelah kanan jembatan terpampang "Situs Maqom Mahmud". Dari jalan
raya menuju kampung itu sekitar 3,5 kilometer dengan keadaan jalan agak rusak.
Di sepanjang jalan ini, keadaanya kumuh dan akan terlihat sungai yang
benar-benar terpolusi oleh berbagai limbah. Namun tetap saja ada sekerumunan
anak yang terjun bebas (mungkin untuk membersihkan diri atau bermain) ke sungai
ini. Tidak diketahui jelas berapa kedalamannya.
"Maqom Karomah Mahmud", jika menemukan gapura ini,
maka kita telah sampai. Bangunan rumah tanpa kaca dan terbuat dari bilik
terjaja rapi di sana. Masjid Jame akan segera kita temui, masjid berwarna hijau
ini unik karena bangunannya terbuka dengan pondasi kayu yang masih kuat. Masjid
jame ini merupakan pusat peribadatan, tapi masjid lain cukup merata ada di
pelosok kampung ini.
Pendiri
kampung ini adalah walilulloh (kekasih Allah) yaitu Eyang Dalem Haji
Abdul Manaf yang sampai saat ini telah mempunyai 9 keturunan, yaitu:1. Eyang Dalem Haji Sayidi
2. Eyang Dalem Haji Jeneng
3. Eyang Dalem Haji Mangkunagara
4. Eyang Dalem Haji Yaksa
5. Eyang Dalem Haji Amsin
6. Eyang Dalem Haji Amsiah
7. Kiai Haji Muhamad Turmudzi
8. Kiai Haji Muhamad Muhidin
9. Kiai Haji Muhamad Syafei.
Turunan sampai ke delapan, makamnya sampai saat ini menjadi tempat suci yang sering dikunjungi oleh para peziarah.
Di sekitar masjid, tersedia warung dan tempat parkir kendaraan yang cukup luas. Jika ingin mendapatkan informasi sejarah, kita dapat menemui Bapak KH. Muhamad Syafei di madrasah yang letaknya di tengah-tengah kampung, beliau adalah turunan ke sembilan dari pendiri kampung yang dikelilingi oleh sungai legendaris di kota Bandung.
Menuju madrasah ini, banyak kita temukan kayu-kayu olahan yang nantinya akan dibuat berbagai macam mebel, karena mata pencaharian di kampung ini adalah pembuat kerajinan kayu, yang saat ini karyanya telah dipasarkan ke luar Jawa Barat, seperti Banten, Jawa, dan daerah lainnya. Selain itu, masyarakat di sini juga berprofesi sebagai petani sayuran, padi, dan lainnya.
Usut diusut, banyak yang mengira bahwa nama Mahmud ini berasal dari nama pendirinya. Ternyata bukan. Sebenarnya nama Mahmud ini diberikan oleh Eyang Dalem Haji Abdul Manaf sekitar 500 tahun lalu yang bersujud mencari petunjuk di Gubah Mahmud Tanah Suci Mekah untuk menemukan suatu tempat paniisan di tanah Jawa, dan dibawalah segenggam tanah dari Mahmud itu ke tempat ini, maka dinamakanlah Kampung Mahmud. Mahmud sendiri artinya yang dipuji. Dulu kampung ini berupa rawa, tapi sekarang sudah berubah 180 derajat menjadi kawasan pemukiman penduduk yang sudah memoderen.
Hal unik dan mencolok yang membedakan kampung ini dengan kampung lainnya adalah:
1. rumah tidak boleh menggunakan kaca;
2. rumah tidak boleh dibangun permanen;
3. tidak boleh memelihara embe dan soang;
4. tidak boleh membuat sumur;
5. tidak boleh menabuh bedug dan goong.
Dulu, banyak kejadian yang janggal. Setiap orang yang menabuh goong atau merayakan idul fitri dengan menabuh bedug, maka setelah ditabuh akan pecah. Sehingga kesenian kurang berkembang, hanya ada kesenian terbang (semacam tagonian), selain alasan agama Islam yang cukup kental tertanam di sini. Jika ada yang memelihara embe dan soang, entah binatang peliharannya atau pemeliharanya akan kurus dan akhirnya sakit. Namun, keadaan Citarum yang sudah tercemar, setiap rumah diizinkan untuk membangun sumur untuk sumber kehidupan sehari-hari. Ini semua dilakukan karena masyarakatnya memang hidup sederhana dan mereka benar-benar mencari tempat yang sunyi sepi. Jika masyarakatnya melanggar, maka akibatnya akan sakit, rumah tangga tidak harmonis, dan perekonomiannya tidak barokah. Biasanya pelanggar adalah kaum pendatang yang menikahi masyarakat asli kampung ini. Ada juga cerita lain yang mungkin tidak masuk akal tapi terjadi di sini, yaitu tugu batu Mahmud yang berulang kali dibuang ke sungai, keesokan harinya akan kembali lagi di situ, wallohualam.
Ini aset bangsa, sudah sewajarnya masyarakat Sunda khusunya, mengunjungi Kampung Adat ini, kita pun akan disambut oleh masyarakat yang someah serta ilmu barupun akan segera didapat.
Rumah
panggung dibangun tidak permanen, tanpa kaca, sangat sederhana.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar